
Penulis: Lelya Hilda Amira Ritonga
Salah satu pelopor dari Angkatan ’45 dan puisi modern Indonesia ini bernama asli Chairil Anwar. Ia lahir pada tanggal 26 Juli 1922 di Kota Medan, Sumatera Utara. Pria berdarah Minangkabau ini kerap dijuluki sebagai “Si Binatang Jalang” dari karyanya yang terkenal berjudul Aku.
Ia adalah anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha. Keduanya berasal dari Kabupaten Limapuluh Kota di Sumatera Barat. Bapaknya adalah mantan Bupati Indragiri Riau sedangkan ibunya masih punya pertalian keluarga dengan Sultan Sjahrir (Perdana Menteri Indonesia Pertama).
Baca juga: 5 Jalur Penerimaan Masuk UIN SU
Chairil lahir dan dibesarkan di Medan. Sejak kecil Chairil Anwar sangat dekat dengan neneknya. Saat neneknya meninggal ia melukiskan kepedihannya lewat sebuah sajak:
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta
Chairil mulai mengenyam pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian melanjutkannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Keluarga Chairil bisa dikatakan tidak begitu harmonis. Kedua orang tuanya bercerai saat ia masih remaja. Ia kemudian pindah ke Jakarta mengikuti ibunya pada tahun 1940. Saat di Jakarta, ayah kandung Chairil masih memberikan nafkah pada mereka berdua. Ibunya adalah wanita kedua yang paling Chairil sayangi setelah neneknya.
Baca juga: Gerakan Moral Spontanitas #SAVEBABI
Di usia 19 tahun (ada yang mengatakan 18 tahun), Chairil sudah tidak melanjutkan sekolah. Ia memilih bekerja sebagai seniman atau penyair. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda dan Jerman.
Di usia 20 tahun, Chairil banyak membaca karya-karya pengarang Internasional ternama seperti Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung juga terhadap tatanan kesusastraan Indonesia.
Pada tahun 1942, puisi pertamanya terbit dengan judul ‘Nisan’. Namanya mulai dikenal. Kebanyakan puisinya bertemakan kematian. Perjalanannya tak selalu mulus, puisinya pernah ditolak majalah Pandji Pustaka karena dianggap terlalu bersifat individualis.
Baca juga: Ani Idrus, Sang Wartawati Nasional
Pada usia 24 tahun, tepat tanggal 6 Agustus 1946 ia menikah dengan wanita bernama Hapsah Wiraredja dan dikaruniai satu orang anak yang bernama Evawani Alissa. Namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Dua tahun kemudian ia bercerai dengan istrinya.
Setelah bercerai, kesehatannya mulai memburuk. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit menyambanginya. Ia dirawat di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Hingga akhirnya meninggal pada tanggal 28 April 1949. Adapun penyebab kematiannya tak diketahui secara pasti namun diduga lebih karena mengidap TBC. Ia dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta.
Makam Chairil diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa “Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus.”
Baca juga: Mahasiswa Bingung, Portal Akademik Tidak Bisa Diakses
Chairil Anwar banyak menghasilkan karya. Terhitung tidak kurang dari 90 karya, termasuk didalamnya 70 puisi. Puisinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi. Karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol.
Berikut ini adalah salah satu puisi karya Chairil Anwar yang terkenal berjudul “AKU”
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu-sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Editor : Ade Suryanti