Rakyat Sengsara Akibat Perampasan Lahan yang Merajalela

- Advertisement - Pfrasa_F

 

(Dok : Dok. Pribadi)

Penulis: Annisa Utami

Permasalahan perampasan lahan di Indonesia kian hari kian meningkat. Masyarakat menjadi korban dari kerakusan para kapitalis. Tak jarang lahan yang telah diduduki rakyat selama berpuluh-puluh bahkan beratus tahun dari peninggalan nenek moyang mereka direbut secara paksa oleh arogansi kekuasaan.

Salah satu contoh dari sekian banyak kasus ialah perampasan lahan di Rempang. Ratusan aparat gabungan diturunkan untuk mengamankan petugas yang hendak mengukur dan mematok lahan di Kepulauan Rempang–Galang, Provinsi Kepulauan Riau, atas nama Proyek Strategi Nasional (PSN) pada Kamis, 7 September 2023. Sebanyak 7.513 warga yang mendiami pulau tersebut terancam diusir dari rumah dan tanahnya.

Konflik agraria di Indonesia sudah seperti benang kusut. Kasus Rempang hanyalah satu dari sekian banyaknya kasus perampasan lahan yang mengatasnamakan investasi. Dilansir dari CNN Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan data sejumlah 2.710 konflik agraria terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Baca Juga: Benarkah Band Hindia Menganut Aliran Satanic?

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan sejak 2015 hingga 2022, ribuan kasus
persoalan agraria itu mencuat dan berdampak pada 5,8 juta hektare tanah. Korban yang
terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia serta 1.615 rakyat ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya.

Berdasarkan aduan ke Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM), konflik agraria
selama 2023 di Indonesia mengalami kenaikan. Jumlahnya mencapai 692 aduan yang terkait dengan konflik agraria sepanjang Januari–Agustus 2023. Dikutip dari laman kompas.com, Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan jumlah tersebut meningkat signifikan dibanding rerata sebelumnya. Dengan ratusan aduan tersebut mengartikan terdapat sekitar empat aduan kasus setiap hari kerja terkait konflik agraria.

Dampak dari konflik agraria bukan saja masyarakat yang akan kehilangan tempat tinggalnya, tetapi juga hilangnya sumber penghidupan yang mengakibatkan kemiskinan hingga kelaparan. Kemudian, hilangnya ruang sosial dan tumbuh kembang anak-anak yang mana kesempatan pendidikan mereka terancam, bentang alam yang berubah dari hutan menjadi perkebunan dan bekas tambang, hingga mengakibatkan bencana alam berulang dari banjir sampai kebakaran hutan dan lahan.

Penyelesaian atas berbagai sengketa lahan jauh dari yang namanya keadilan. Lahan masyarakat yang diambil paksa sering tidak mendapatkan ganti rugi yang memadai. Hingga kini masih banyak tuntutan sana-sini yang belum terselesaikan, seperti kasus masyarakat adat Sigapiton atas rancangan pembangunan wisata di Kaldera Toba.

Tidak ada kusut yang tidak selesai, begitulah permasalahan benang kusut konflik agraria di
negeri tercinta. Untuk mengurai benang yang kusut tentu harus mengetahui ujung pangkal serta simpul utama persoalan. Sesungguhnya simpul utama dari persoalan konflik agraria ini terletak pada penerapan sistem kapitalisme.

Pandangan ekonomi kapitalis dibangun atas satu keyakinan bahwa masalah utama ekonomi
adalah kelangkaan, oleh karena itu para pelaku ekonomi harus meningkatkan produksi sebanyak- banyaknya. Pelaku ekonomi menganggap bahwa tanah yang menjadi faktor produksi juga harus dikuasai sebanyak-banyaknya. Berdasarkan sudut padang inilah, para pemodal besar atau kapitalis menjadi semakin rakus.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Barat, Nikodemus Alle menyebutkan bahwa
ketimpangan penguasaan ruang terjadi karena pihak swasta dan nasional sangat menguasai beberapa sektor. Ketimpangan kekayaan termasuk dalam ketimpangan kepemilikan lahan tidak dapat dihindari dalam sistem kapitalisme. Lahan akhirnya hanya dikuasai oleh 1% orang sedangkan 99% orang lainnya berpotensi landless.

Kita sudah mengetahui simpul utama dari permasalahan konflik agraria adalah penerapan sistem kapitalis. Oleh karena itu, sudah saatnya kita sadar dan kembali kepada aturan yang sesuai dengan fitrah kita sebagai manusia yang tentunya tidak akan menyengsarakan rakyat, yakni aturan dari Sang Pencipta.

Allah Subhanahu Wataala (Swt.) telah memberikan aturan dalam kehidupan yang begitu
kompleks, termasuk aturan dari kepemilikan lahan. Filosofi kepemilikan dalam Islam dibangun atas dasar akidah yang menyatakan bahwa hakikat kepemilikan ada pada Allah swt. seperti dalam firman-Nya dalam Al-Quran, “Berikanlah kepada mereka harta (milik) Allah yang telah Dia berikan kepada kalian.” (Q.S. An-Nur (24): 33)

Baca Juga: Salahkah Menolak Pengungsi Rohingya?

Biodata Penulis:

  • Nama        : Annisa Utami
  • Jurusan    : Ilmu Komunikasi
  • Fakultas   : Ilmu Sosial
  • Semester  : VII
  • Instagram : @annisautamii__

Editor: Rika Wulandari

 

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles