Dilematis Pendidikan Anak Dirundung Pandemi

- Advertisement - Pfrasa_F
(Foto/Ilustrasi/Pexels)

Penulis: Wahyu Nizam

Di tengah sulitnya perekonomian negara, yang tidak kalah penting dan harus menjadi salah satu prioritas pemerintah adalah pendidikan bagi generasi. Pada dasarnya suatu hal dapat dilakukan dengan baik karena ilmu dan pengalaman yang memadai. Dan itu semua didapat dari pendidikan yang baik pula. Jangan sampai karena fokus pemerintah yang cenderung pada perbaikan ekonomi, sektor pendidikan khususnya bagi usia anak-anak malah tidak maksimal ditanggulangi.

Semenjak tahun ajaran baru dimulai dan ditetapkan oleh Kemendikbud melalui sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) banyak menuai tanggapan dari masyarakat. Kebijakan ini diambil imbas dari pandemi Covid-19 yang belum juga usai di Indonesia. Akibatnya sebagian besar orang tua siswa mengeluhkan sistem PJJ yang dianggap kurang efektif, Sehingga menambah pekerjaan orang tua dan siswa itu sendiri tidak mendapat pembelajaran dengan baik.

Kemendikbud mencatat pada tahun ajaran 2019/2020 ada sebanyak 25,2 juta peserta didik yang duduk dibangku sekolah dasar (SD). Artinya saat ini ada puluhan juta siswa SD yang terpaksa harus belajar dari rumah. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, di tengah kondisi yang demikian siswa SD sangat riskan untuk tidak dapat menerima pembelajaran dengan baik.

Karena tidak semua orang tua peserta didik dapat menemani anaknya untuk belajar, ada yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bahkan untuk biaya pendidikan itu sendiri. Justru hal ini dapat mengancam anak-anak yang berada pada keluarga kurang mampu malah tidak mendapatkan pendidikan apapun.

Beberapa minggu terakhir publik sempat dihebohkan dengan beredarnya video orang tua siswa di sosial media yang mengalami kesulitan dalam memberikan pembelajaran kepada anak. Hal ini menjadi bukti bahwa PJJ benar-benar harus dievaluasi dan ditemukan konsep yang matang agar suasana baru dalam belajar dapat dijalankan dengan baik.

Saat ini salah satu cara yang paling dominan digunakan adalah menggunakan gawai. Sejalan dengan hal itu Kemendikbud langsung mengalokasikan dana BOS untuk memberikan kuota atau pulsa gratis kepada siswa dan guru. Alih-alih agar anak dapat belajar malah bisa mengakibatkan kecanduan dan lepas kontrol yang membuat anak mengakses sesuatu yang tak semestinya.

Penggunaan gawai pada anak bukanlah sesuatu hal yang seutuhnya baik, penelitian yang dilakukan oleh Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga (2015) menyimpulkan bahwa intensitas penggunaan gawai memiliki pengaruh pada perkembangan anak. Semakin tinggi intensitas penggunaan gawai semakin besar pula peluang anak untuk mengalami kemungkinan penyimpangan perkembangan.

Ilmu pengetahuan memanglah tidak hanya didapat dari sekolah, melainkan dengan cara lain pun bisa didapatkan. Namun ada yang yang lebih penting dari itu, pembentukan karakter serta penanaman nilai-nilai moral yang baik tidak bisa didapatkan hanya dengan memegang gawai, perlu ada contoh dan interaksi langsung yang diperankan langsung oleh anak-anak.

Beranjak dari permasalahan di atas, tentunya ini menjadi dilematis tersendiri bagi sistem pendidikan kita sekarang. Antara kesehatan, ekonomi, dan pendidikan adalah sektor-sektor yang sangat berkaitan. Jika memang pemanfaatan teknologi menjadi solusi utama dalam kegiatan belajar anak, dirasa perlu pemerintah mendesain sebuah aplikasi khusus yang disesuaikan dengan standar kurikulum agar akses gawai anak dapat dikontrol dan dibatasi dengan waktu-waktu yang tepat.

Selain itu pula keluarga bahkan guru perlu memberikan perhatian khusus bagi anak-anak yang memang sulit mendapatkan pembelajaran, misalnya mereka yang tidak punya gawai, yang keterbelakangan ekonomi keluarga serta anak-anak yang memang mempunyai kebutuhan khusus. Pemerintah dan masyarakat tidak boleh abai apalagi tidak serius, karena pendidikan anak adalah masalah harus diurus karena mereka adalah generasi penerus.

Editor : Rindiani

- Advertisement -

Share article

Latest articles