Hujan dan Kenangan

- Advertisement - Pfrasa_F
Ilustrasi: Ditanty Chica Novri

Penulis: Shofiatul Husna Lubis

Dedaunan pohon rindang mulai berjatuhan tepat di atas kepalaku. Pikiranku melayang sambil menikmati musik bernuansa melankolis dari ponselku. Semilir angin semakin membuatku nyaman, sejenak ada bayangan hitam yang menari-nari di atas awan. Seketika aku merasa seperti ada rintik-rintik jatuh dari atas sana. Alunan musik seakan membawaku pada satu kenangan pahit. Aku masih duduk dengan nyaman, kenangan itu kembali mengusik. Saat kututup mata, semua terulang

“Zahwa…kamu sedang apa di sana?” tanya seorang lelaki dari sebrang.

Aku hanya diam sambil menikmati bulir kecil yang mengguyur tubuhku. Lelaki itu terus meneriaki namaku, namun tak sedikit pun kugubris, aku masih asyik berdiri di tengah jalan.

“Zahwa… ayolah, nanti kamu sakit,” ajaknya.

“Ayo kak, kita nikmati kebahagiaan ini bersama,” kataku sambil meliriknya.

Dia hanya menggeleng, “Ayolah kak!” ajakku lagi. Entah bagaimana tiba-tiba dia sudah berada di sampingku dengan tertawa.

“Sudah Wa, yuk kita pulang!” ajaknya, dan kali ini aku menurut.

“Jangan terlalu sering main hujan-hujanan, ya. Nanti kamu sakit,” ujarnya seraya menggantungkan jaket di tubuhku.

Aku mengangguk pelan, seketika dia menghidupkan mesin motor dan melaju pergi.

***

Mentari pagi seakan malu memancarkan sinarnya, aku segera bergegas pergi menuju sekolah yang cukup jauh dari rumahku. “Tin…tin…tin…” suara keras klakson mobilku membuatku panik. Aku segera berlari memasuki mobil yang melaju dengan cepat. Setelah sampai di depan gerbang, aku melihat guru BK sedang berdiri menatapku tajam. Aku merasa takut dan berjalan perlahan melewati gerbang kedua. Tiba-tiba Pak Salman mencegatku.

“Zahwa, mau ke mana? Cepat ke sini!” teriaknya dengan keras.

Kali ini aku tak bisa mengelak, hanya pasrah menerima hukumannya.

Lagi-lagi aku dihukum, lagi-lagi aku harus menghadap bendera di depan semua murid, termasuk teman-teman sekelasku. Dari kejauhan, aku melihat Kak Faisal menatapku dengan wajah kecewa. Setelah hukuman berakhir, aku berjalan menuju sebuah taman yang berada di balik kelasku, aku langsung bersembunyi.

“Sampai kapan kamu mengecewakan kakak?” katanya yang sudah mengetahui kehadiranku. Akhirnya aku keluar dari balik pohon sambil nyengir.

“Maaf kak, habisnya aku selalu kesiangan,” gumamku beralasan.

“Pokoknya kalau besok kamu masih telat juga, kakak nggak mau ngobrol lagi sama kamu!” katanya ketus. Aku hanya diam mendengarkannya mengoceh. Sesekali aku tertawa kecil melihat ekspresinya memarahiku. Namun aku kembali serius mendengarkannya.

“Ya udah, sini dong duduk bareng kakak,” ajaknya seraya tersenyum. Senyumnya manis seperti es krim favoritku. Saat aku duduk di sampingnya, tiba-tiba dia menarik ujung jilbabku, sontak aku kesal dan menjambak pelan rambutnya lalu berlari menghindar. Dia tertawa melihatku yang sedang mengejeknya dari kejauhan, aku pun tertawa. Kali ini suasana tegang berhasil kucairkan.

***

Hari demi hari hidupku penuh warna, aku hampir tak mampu mengungkapkannya. Terlebih lagi saat dia selalu hadir mengisi hidupku dan menjadi bagian dalam embusan napasku. Aku masih ingat saat pertama kali Tuhan mempertemukan kami di sebuah restoran ketika menghabiskan waktu bersama teman-temanku. Saat itu hujan turun dengan  deras, aku sedang menunggu jemputan pak supir, namun karena terlalu lama menunggu akhirnya kuputuskan untuk berjalan sambil menanti taksi. Saat aku berada di tengah jalan, aku merasa ada seseorang yang sedang melindungiku dengan jaketnya.

“Jangan main hujan, nanti kamu sakit,” katanya tanpa menoleh. Aku yang mendengarnya langsung melirik.

 “Terima kasih, kak,” kataku.

Setelah melihat taksi, dia perlahan membukakan pintu untukku, aku melihat bibirnya membiru pertanda bahwa dia sangat kedinginan. Kemudian aku tersenyum sambil menulis “Thank you” di balik jendela kaca taksi.

Sejak saat itu, aku sering bertemu dengannya, selalu membawa makanan masakanku sebagai tanda terima kasih. Dan sejak saat itu pula kami sering bercerita kisah lucu, sedih, maupun bahagia. Hingga kini dia masih menjadi telinga dari keluhku.

“He, sedang memikirkan apa?” sambil menarik ujung jilbabku.

“Tidak ada,” jawabku singkat. Ketika kami berada di rumah makan setelah pulang sekolah. Aku hampir tak sadar sejak tadi di luar bulir-bulir kecil berjatuhan. Mungkin itu yang membuatku kembali mengingat pertemuanku kali pertama dengannya.

“Di luar hujan, nanti kakak antar, ya?” tanyanya, aku mengangguk pelan.

Saat di tengah perjalanan, aku memintanya untuk berhenti sejenak dan melakukan hal yang biasa aku lakukan, menikmati setiap bulir yang jatuh sambil mendangak ke atas langit. Dia hanya tertawa melihatku yang bertingkah seperti anak kecil. Setelah kurasa puas, aku segera menuju Kak Faisal yang sudah menungguku. Belum sempat aku berjalan, tiba-tiba mobil hitam melaju  cepat ke arahku. Mobil itu semakin cepat, hingga tak mampu menghindarinya. Dari jauh Kak Faisal berteriak keras dan berlari mengejarku.

“Brukkkk…” entah bagaimana tubuhku terpental jauh, dan semua menjadi gelap.

***

Dengan kepala yang masih terasa pusing, kupaksa untuk membuka mata. Seketika bau obat mulai menusuk hidungku.

“Alhamdulillah… anak ibu sudah sadar,” ujar ibu penuh bahagia.

“Kak Ical mana, bu?” tanyaku sambil melihat sekeliling.

Tiba-tiba seorang wanita datang dan melontarkan ucapan yang tak kusangka, “Keadaannya semakin krisis, jika kamu ingin dia sembuh, saya mohon kamu jauhi dia,” aku diam sesaat.

“Ini semua karena kamu, saya harap kamu jangan pernah hubungi dia lagi, mengerti?” katanya membentak.

Dari sudut mata mengalir bulir bening, aku masih membisu. Perkataan itu sungguh menggores luka. Meski berat namun kutahan.

“Baiklah bu, jika itu yang terbaik. Tapi izinkan saya melihatnya untuk terakhir kali,” pintaku.

Aku menangis sejadi-jadinya di samping tubuhnya yang terbaring lemah, penuh alat bantu yang membuatnya bertahan hidup.

“Maafkan Zahwa kak, maaf…” tangisku pecah.

Dengan berat, kulepas dia pergi. Kuakhiri pertemuan itu dengan luka, dengan penuh harap semoga Tuhan selalu menjaganya. Tak ada yang tersisa, hanya air mata yang menjadi saksi bahwa aku sangat menyayanginya.

Perlahan aku membuka mata, bulir-bulir kecil mulai berjatuhan satu demi satu membasahiku. Seketika bola mataku berputar, beberapa detik akhirnya aku sadar sejak tadi aku  mengingat kembali kenangan tiga tahun silam.

“Sampai kapan kamu membenci hujan? Di mana kamu yang dulu si wanita hujan? Aku yakin dia yang di sana juga tak menyukai itu,” ujar Tia mengagetkanku.

Aku berdiri menatapnya tajam, menarik napas panjang dan tersenyum getir.

“Sampai Tuhan meyakiniku dengan mengembalikan dia di kehidupanku,” kataku sambil mengambil payung dan pergi meninggalkannya.

Editor: Iin Prasetyo

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles