Kita Berbeda

- Advertisement - Pfrasa_F
Ilustrator: Tumbularani

Penulis : Miftahul Zannah

Kuikuti alur perjalanan waktu yang terkadang membuatku sulit untuk bertanya kepada setiap orang apa yang sebenarnya terjadi denganku. “ Pletak…” terdengar suara pecahan kaca yang membuat ambyar lamunanku. Aku pun langsung turun kebawah dan melihat apa yang sedang terjadi. Ya, ternyata benar dugaanku lagi -lagi seorang bocah bermain bola dan mengenai jendela gudang rumahku, sudah lebih dari 5 kali mereka melakukannya, tetapi orang tuaku selalu memakluminya. Sedangkan aku, mengapa mereka tidak pernah memaklumi dan mengerti?

Namaku Saziva Amiratunnisa atau lebih dikenal dengan Ziva. Gadis berusia 17 tahun yang memiliki banyak kekurangan. Aku memiliki saudara kembar, ia adalah Sazalia Amiratunnisa atau yang lebih akrab dipanggil dengan Lia. Walaupun kami kembar, tetap saja kasih sayang diberikan orang tuaku berbeda. Aku hanyalah gadis yang tingkat pengetahuannya jauh dari kata sempurna, aku sadar karena tak sepintar Lia. Aku di sekolahkan di SMA yang tidak terkenal. Sedangkan Lia di sekolahkan di SMA favorit yang ada di kotaku.

Baca juga: Perjuangan Semut

Walaupun kami kembar, kami tidur di ruangan yang berbeda. Kamar ku berada di lantai atas dengan tempat tidur 3×4 dekat dengan gudang, sedangkan Lia memiliki kamar yang luas seperti kamar idaman para gadis zaman sekarang. Tetapi aku ikhlas dengan kenyataan dan pahitnya kehidupan ini. Setiap malam, aku menangis dan mengadu kepada sang Illahi, mengapa ketidak adilan ini berpihak kepada ku? Apa hanya karena aku tidak cerdas, maka orang tuaku seperti ini? Kutuangkan kesedihanku ini disetiap goresan tinta dari sebuah buku harianku.

Keesokan harinya, aku bergegas untuk pergi ke sekolah karena hari ini ada perlombaan cipta menulis cerpen tingkat sekolah. Aku sangat senang dengan perlombaan yang telah lama kutunggu ini. Kuajak kedua orang tua ku untuk menyaksikannya, tetapi apa yang kuterima tak sesuai harapanku. Ayah sibuk dengan pekerjaaanya sedangkan ibu akan menemani Lia dalan olimpiade matematika tingkat nasional. Aku mencoba menahan air mata di hadapan mereka. Akhirnya aku pun pergi sendiri dengan hati yang teriris.

Baca juga: Aku Rindu Pulang Bareng Ayah

Sesampainya di sekolah, aku langsung memasuki ruang perlombaan, kucurahkan segala opini dan terkadang kuselipkan fakta tentang diriku. Dalam beberapa waktu, akhirnya naskah dikumpulkan. Tak menunggu lama, pengumuman pemenang pun tiba. Awalnya, setelah selesai lomba, aku ingin pulang tetapi dihalangi oleh Rene. Rene adalah sahabatku dari SMP, dia adalah teman curhatku di kala suka maupun duka. Rene berhasil membuatku luluh dan duduk kembali di tempat semula. Terdengar dari podium, pembawa acara mengumumkan juara pertama lomba cipta menulis cerpen tingkat sekolah atas nama Saziva Amiratunnisa. Semua orang bertepuk tangan, sedangkan aku hanya terpaku membisu tidak yakin dengan kejadian ini. “Ziva cepat maju, nama kamu udah dipanggil, kamu pemenangnya, atau mau diganti sama aku?” teriak Rene kepada ku, “eh enak saja, oke aku akan maju.” sahutku membalas candaan Rene.

Aku bingung antara senang dan sedih, senang karena aku menjadi pemenang dan sedih ketika melihat peraih juara 2 dan 3 di dampingi oleh kedua orang tuanya sementara aku tidak. Setelah penyerahan piala dan foto bersama, aku pun langsung pulang. Ingin rasanya langsung memberikan piala ini kepada kedua orang tuaku.

Baca juga: Catatan Hati Anak Pertama

Sesampainya dirumah kuucapkan “Assalamualaikum” kudapati ibu dan Lia di ruang tamu dengan wajah yang sangat muram. Aku langsung duduk di samping ibu dan kuberikan piala kemenanganku kepadanya. Ibu hanya mengatakan “Alah baru tingkat sekolah saja kamu udah bangga, seperti Lia dong tingkat nasional. Aku merasa terpukul oleh kata-kata ibu, aku berlari ke kamarku dengan rasa sedih. Tak lama kemudian hp ku berdering, ternayata dari guruku, langsung dengan itu kuangkat.

Guru : Assalamualaikum Saziva.

Aku : Waalaikumussalam buk.

Guru : Ibu hanya ingin menyampaikan , tadi ibu dapat kabar dari kepala sekolah bahwa bagi pemenang dalam perlombaan cipta menulis cerpen tadi akan berlanjut sebagai perwakilan ke tingkat nasional, dan perlombaan ini akan berlangsung minggu depan. Ini kesempatan buat kamu. Kamu bersedia kan ?”

Aku : Beneran buk ?” Alhamdulillah. Insya Allah, Ziva sanggup buk, mohon bimbingannya bu.

Guru : Oke, semangat Ziva Assalamualaikum.

Aku : Wa’alaikumussalam.

Setelah telepon berakhir, senangnya bukan main, ingin rasanya aku melompat kesana kemari di atas kasur layaknya anak-anak lain yang memenangkan perlombaan.

Hari yang kutunggu-tunggu pun tiba, aku pamit kepada orang tuaku, tetapi untuk kali ini aku tidak memberi tahu mereka, percuma rasanya, jika ujung-ujung nya mendapatkan respon yang tentu saja tidak memperdulikanku. Sesampainya di lokasi lomba kulihat pesertanya dari berbagai kalangan. Awalnya terbesit dalam hati, “apakah aku sanggup mengharumkan nama sekolah ku?”

Baca juga:

Singkat cerita, lomba pun dimulai dan tibalah saatnya pengumuman. Jantungku berdegup dua kali lebih cepat dan ketika pembawa acara mengumumkan juara ke 2 atas nama Saziva Amiratunnisa, untuk kedua kalinya namaku dipanggil. Aku naik ke atas podium dan diberi selempang kemenangan dan hadiah beasiswa. Namun, rasa senang ku  terasa tidak sempurna ketika ku lihat hanya diriku yang tidak didampingi oleh orang tua.

Kemudian, aku pulang dengan sejuta kebahagiaan, ingin rasanya mengungkapkan kepada orang tuaku, tapi rasanya aku sudah mengetahui respon mereka yang biasa saja. Kuurungkan niatku untuk memberitahu mereka. Ku pajang foto ku di dinding kamarku dan kuletakkan piala kemenaganku dilemari.

Keesokan harinya, aku kembali ke sekolah untuk membagi ke bahagianku kepada teman temanku. Aku dipanggil ke kantor kepala sekolah. Setibanya di kantor kepala sekolah, tanpa basa basi lagi, kepala sekolah mengatakan kalau aku mendapatkan beasiswa masuk ke universitas negeri yang ada di kotaku tanpa tes. Aku kaget dan kepala sekolah terus mengucapkan selamat kepadaku.

Baca juga: Jangan Takut Gelap /3/

Aku pulang dengan rasa bahagia, kuketuk pintu, kedua orang tua ku berdiri seakan menunggu kehadiranku, langsung kupeluk keduanya. Awalnya, sempat ragu untuk melakukannya, tetapi karena aku benar-benar bahagia di hari ini, akhirnya kuberanikan diri untuk melakukannya. Ibu mengelus helaian rambutku dengan lembut. Sentuhan yang paling aku rindukan. Hal yang selama ini jarang sekali kudapatkan akhirnya dilakukan oleh ibu.

Aku terhentak, kulepaskan pelukan ibuku sesaat, dan bertanya  “ada yang aneh dengan hari ini bu?”

Ibu : Maafkan ibu ya nak, selama ini ibu baru sadar yang ibu lakukan ke kamu salah. Awalnya, Ibu melakukan ini agar kamu bisa bangkit dari keterpurukan yang menimpamu 12 tahun lalu, yaitu ketika kamu menjadi korban dalam pertengkaran ayah dan ibu. Maafkan ayah dan ibu ya selama ini sudah tidak memperdulikanmu. Sebenarnya, ini membuat ayah dan ibu frustasi karena awalnya kakek dan nenek tak menginginkan memiliki anak kembar. Maafkan ayah dan ibu ya nak.

Baca juga: Pondok Itu Mungil

Aku : Iya bu tidak apa apa, dengan begini aku bias lebih mandiri dan membuatku bangkit melupakan semua masa lalu.

Lia: Maafkan aku juga ya Ziva, selama ini aku sudah salah sangka, tetapi aku terkadang iri dengan prestasi kamu. Ternayata sekarang sudah terbukti  kalau kamu yang lebih cerdas.

Aku : Eh, jangan begitu dong Lia, sekarang kita sama-sama cerdas dan tidak ada lagi yang memisahkan kita.

Setelah percakapan selesai, akhirnya mereka berpelukan sambil menangis. Sekarang, suasana keluarga yang diharapkan oleh Ziva akhirnya dapat terwujud menjadi keluarga bahagia.

Editor : Yaumi Sa’idah

- Advertisement -

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles