Pers Mahasiswa di Bawah Bayang-Bayang Perlindungan Hukum

- Advertisement - Pfrasa_F
(Ilustrator: Hary’s Hidayat Abdillah Simanjuntak)

Pers mahasiswa (persma) sebagai penegak keadilan, baik secara umum maupun khusus dalam ranah lingkungan kampus. Namun, apakah sebenarnya dukungan dan perlindungan terasa saat melakukan tugasnya? Sering kali persma merasa takut menghadapi badai dan rintangan dalam melakukan berbagai peliputan di tengah tidak adanya payung hukum yang melindungi. Ironisnya, persma selalu berada di bawah bayang-bayang aturan kampus terkait yang mengikat untuk taat dalam aturan yang dibuat.

Baca Juga: Di Balik Garis Pantai: Menjelajahi Kehidupan Penduduk TPI Bagan Deli

Persma bukanlah bagian dari humas kampus, tetapi selalu terjebak sebagai corong penegak keadilan. Namun, wadah ini belum mendapatkan perlindungan penuh dan selalu diikat dengan aturan kampus. Dalam menjalankan tugas, persma masih seperti berada di awang-awang dan tidak bisa bergerak sendiri, terlebih pembiayaan masih diterima dari kampus. Hal ini tidak bisa dikatakan sebagai sebuah keberuntungan penuh, beban tambahan juga hadir di dalamnya sebagai pengikat kebebasan dalam melakukan tugasnya.

Namun, hal ini jangan menjadikan persma untuk berhenti mengkritik kebijakan kampus. Teruslah menyampaikan informasi dan menjadi kontrol sosial sebagai mata-mata kampus. Intervensi dari pihak lain yang tidak terima dengan berita banyak dihadapi di tengah belum adanya payung hukum. Seperti salah satu persma yang berada dalam lingkungan kampus Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN SU) kerap kali mendapatkan berbagai tantangan.

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dinamika pernah mengalami intervensi dari oknum mahasiswa yang tidak terima dalam hal pemberitaan yang telah ditayangkan. Oknum melakukan pembobolan terhadap sekretariat LPM Dinamika sehingga mengakibatkan kerugian. Kasus ini sempat menjadi perbincangan pers mahasiswa lainnya dan turut mempertanyakan di mana sebenarnya letak keamanan dan perlindungan terhadap persma? Pemberitaan ini dimuat di laman resmi lpmdinamika.co. dengan judul “Panitia PBAK FITK Diduga Lakukan Pungli pada Maba”.

Tidak hanya kecaman dari mahasiswa, dosen juga menyayangkan berita ini terbit karena dinilai mempermalukan nama kampus khususnya program studi (prodi). Namun, dalam kode etik jurnalistik segala sesuatu kebenaran harus disampaikan tanpa memihak pada siapa pun.

Di sisi lain, Prof. Dr. Katimin, M.A. Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan UIN SU menilai bahwa persma merupakan bagian dari organisasi mahasiswa. Seyogianya persma sebagai wadah informasi yang melakukan back-up terhadap kampus itu sendiri. LPM Dinamika UIN SU masih merupakan bagian dari kampus. Jadi, dengan demikian suatu lembaga yang masih berada dalam naungan kampus haruslah mendukung dan mengetahui sebagai apa posisinya dalam sebuah lembaga tersebut.

Saat diwawancarai mengenai hal yang harus dilakukan persma terkait dengan pemberitaan yang bertentangan dengan pihak kampus, Prof. Katimin tidak secara jelas mengatakan bahwa pemberitaan yang bertentangan harus tetap diterbitkan. Ia berkilah bahwa persma perlu melakukan verifikasi ulang terhadap suatu pemberitaan. “Kritis boleh, tetapi harus verifikasi terkait kebijakan kampus. Persma harus menjadi penyeimbang bukan provokator,” tegas WR III, Prof. Katimin.

Menyinggung soal kasus pembobolan sekretariat LPM Dinamika yang sempat terjadi setelah diterbitkannya suatu pemberitaan, Prof. Katimin memastikan bahwa pihak UIN SU akan selalu melindungi semua organisasi dan mahasiswa. Hal ini juga berlaku pada LPM Dinamika UIN SU.

“Namun, karena ini lembaga resmi harus ada laporan resmi terkait hal tersebut dan bukti-bukti yang berbentuk surat. Kalau perlu laporkan kepada pihak berwajib, kalau tidak bisa diselesaikan secara internal,” jelasnya.

Kenyataan pahitlah yang didapat, persma kampus sebagai penegak keadilan tidak serta-merta mendapatkan keadilan yang sama. Siapa pelaku sebenarnya? Sampai kapan kebebasan berekspresi terus dibungkam dengan dalih menjaga nama baik kampus? Bukankah seharusnya nama baik itu dibuat dan diciptakan sendiri, bukan malah menutupi segala keburukan dengan kebijakan? Tindakan yang diambil kampus masih dirasa kurang dalam menindaklanjuti kasus kriminal ini.

Jika mengacu pada ungkapan Prof. Katimin, dikatakan bahwa pihak UIN SU akan mendukung penuh dan melindungi selagi adanya bukti yang kuat. Laporan dan bukti-bukti telah disampaikan kepada pihak terkait UIN SU, tetapi untuk tindak lanjut sampai kasus ini benar-benar selesai belum terlaksana dengan baik. “Kami akan mendukung dan memproses selagi ada bukti dengan melapor ke pimpinan. Jika ada masalah ataupun ancaman yang diterima oleh persma, pihak biro bisa melindungi asal ada laporan ke para pimpinan,” katanya.

Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN SU menjelaskan bahwa persma jangan sampai menyerang dan menjatuhkan nama baik kampus. Pernyataan ini seolah membenarkan bahwa nama baik kampus harus dilindungi dengan benar. Padahal persma tidak ada sedikit pun ingin menjatuhkan nama kampus, hanya saja mereka mengkritik kebijakan untuk perbaikan demi mendongkrak nama baik kampus itu sendiri.

“LPM Dinamika jangan sampai menghantam kampusnya, kita hidup dan belajar di UIN SU, tetapi memberitakan hal jelek. Hal yang saya tahu, LPM Dinamika selalu memberi berita yang baik, tetapi juga sedikit mengkritik dengan bahasa baik disertai dengan solusi, inilah hakikat pers sesungguhnya,” ungkap Anang Anas Azhar, M.A.

Persma adalah pengawal ataupun pengawas dalam sebuah ranah di kampus baik itu dari fakultas, prodi, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan universitas. Jika ditemukan kejanggalan, maka perlu adanya kritik dan pengungkapan kebenaran tanpa menyinggung.

Dwi Dini, salah satu Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) semester IV UIN SU memberikan tanggapannya. Persma sebagai akses dan penyambung lidah antara mahasiswa dengan pihak atasan kampus. “Ketika kami tidak bisa membuka suara, maka persma inilah yang akan menjadi penyampai informasi kepada pihak atasan kampus. Seharusnya pers mahasiswa didukung kuat karena persma itu penting sebagai penyampai informasi,” jelasnya.

Dalam melaksanakan tugasnya, Persma Suara USU mendapatkan tekanan yang mencekik dari pihak internal di tengah tingginya semangat menegakkan keadilan dan kebenaran. Salah satu demisioner Persma Suara USU, Siti Annisa Fadhilah menjelaskan bahwa dirinya mengalami suka cita dalam memberikan informasi kepada mahasiswa, terkadang juga menghadapi tantangan seperti tekanan dari pihak universitas atau mahasiswa sendiri. Namun, mahasiswa terkadang menjadi penghambat utama yang lebih sering menekan Persma Suara USU.

“Sebenar apa pun berita yang kita tulis, pasti selalu ada yang menyanggah ataupun mengintervensi. Biarkanlah mereka berargumen dengan statement mereka sendiri, mungkin kata-kata tersebut yang selalu aku pegang saat jadi pers mahasiswa,” ungkap salah satu demisioner Persma Suara USU.

Menanggapi hal ini, salah satu News Editor di IDN Times Sumut, Arifin Al-Alamudi saat ditemui menjelaskan bahwa persma bukan hanya sebagai corong penyampai informasi kampus. Persma harus selalu menjadi orang pertama yang mengkritik kampus. “Kalau persma sudah berhenti mengkritik kampus. Ya, tidak perlu ada persma lagi. Pers itu memang di segala tingkatan mengkritik, kalau persma segala yang baik-baik kampus saja itu aneh. Tujuan berdirinya persma adalah sebagai lembaga yang mengkritik kampus untuk lebih baik,” jelasnya.

Payung hukum yang melindungi persma saat ini belum benar-benar ada dan terlaksana, Arifin mengatakan saat ini belum ada jalan untuk hal itu. “Menurutku belum ada jalan yang bisa menciptakan aturan khusus mengatur persma sedangkan dia masih dalam kampus, tetapi mahasiswa harus pandai berstrategi. Istilahnya tangan kanan diikat, tangan kiri nulis,” ungkap Arifin seorang jurnalis senior.

Arifin juga pernah merasakan menjadi persma di LPM Suara USU, dia menjelaskan berbagai keresahan dan dinamika kehidupan yang dirasakannya selama menjadi Persma Suara USU. Sama halnya dengan LPM Dinamika UIN SU, ancaman pembobolan kerap kali diterima oleh Suara USU. Pada 2004, sekretariat Suara USU dirusak dan pengurus mendapatkan ancaman dari orang yang tidak dikenal. Hal ini terjadi ketika Suara USU menerbitkan tabloid dengan judul “Ternyata USU Minim Fasilitas”.

Dalam menulis berita yang sifatnya sensitif dan bertentangan dengan kebijakan kampus, perlu diperhatikan bagaimana bahasa ataupun diksi yang digunakan. Seorang jurnalis harus benar-benar paham dalam hal mengkritik.

“Kritis diperbolehkan, tetapi perlu adanya berbagai pertimbangan-pertimbangan yang harus diperhatikan demi keselamatan jurnalis kampus. Saat ada berita sensitif, tidak perlu tulis namanya. Berita jangan menggunakan diksi yang memojokkan, persma harus belajar sampai hal ini yang mana tidak kasar dalam mengkritik. Namun, jika masalah sudah terjadi persma dapat berlindung ke Aliansi Jurnalis Independen dan merapatkan barisan ke Aliansi Pers Mahasiswa untuk melakukan pembelaan,” ungkapnya seolah menekankan bahwa persma harus main cantik dalam peliputan dan menulis.

Persma bukan tidak ada perlindungan secara undang-undang, kampus seharusnya melindungi persma. Kampus merupakan bagian dari pemerintah yang seyogianya kampus harus tunduk pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Penyelenggaraan pendidikan menjadi ranahnya pemerintah, sepanjang ada intervensi pemerintah maka segala aktivitas dan kegiatan kampus itu menjadi konsumsi publik.

“Karena menjadi konsumsi publik, maka segala sesuatu informasi dan data juga menjadi konsumsi publik, termasuk itu menjadi haknya pers kampus dalam memberitakan,” terang M. Alinafiah Matondang, S.H., M.Hum. Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum Medan.

Berbagai intervensi kerap terjadi di kalangan persma, baik itu dari mahasiswa ataupun birokrat yang tidak terima terhadap pemberitaan. Jika hal ini terjadi, persma bisa melaporkan kepada pemerintah, dunia kampus ini tetap dikontrol dan diawasi pemerintah.

“Ini hak kalian menjadi mahasiswa, uang yang diberikan kepada kampus untuk menggaji tenaga pendidik, dosen, dan lain sebagainya, itu menggunakan uang rakyat. Mereka bisa dimintai pertanggungjawaban untuk memberikan hak kepada mahasiswa atau persma. Bagaimana cara pengelolaan dan kebijakan-kebijakan, mahasiswa dan persma punya hak untuk mengetahuinya. Hal itu karena menyangkut kualitas pendidikan yang akan diterima,” tegasnya.

Alinafiah menegaskan kembali bahwa persma adalah sebagai media informasi yang tidak hanya memberitakan prestasi, tetapi juga kritik, saran, dan masukan. Jika kampus hanya ingin diberitakan prestasi saja, tidak perlu ada persma.

Seolah menemukan angin segar, Dewan Pers bersama dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi telah menandatangani kesepakatan perjanjian kerja sama untuk melindungi Aktivitas Jurnalistik Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi tepatnya 18 Maret 2024. Berharap ini bukan hanya sekadar penyejuk semata.

Dewan Pers memberikan sedikit harapan bahwa pers mahasiswa akan dilindungi dan dibantu semua pemberitaan sengketa layaknya pers umum. Namun, kebijakan ini masih terbatas dalam ranah kementerian pendidikan, tetapi Dewan Pers akan terus berupaya untuk meneruskan perjanjian kerja sama pada Kementerian Agama.

Baca Juga : Nelayan Bagan Deli: Mengejar Sejahtera dalam Keterbatasan

Reporter :  M. Abrar Putra Kaya Harahap, Umaira Sabila, Cici Hardiyanti, Nafiis Satria Pratama

Editor      : Syahda Khairunnisa 

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles