Sebatas Sahabat, Tak Akan Lewat

- Advertisement - Pfrasa_F
Ilustrasi sahabat. (foto/Ilustrasi/Pexels/Ba Phi)

Penulis: Annisari

Bel pulang berbunyi, akupun segera keluar dari kelas yang menyenangkan itu. Sepulang sekolah, tidak seperti biasanya. Hari ini begitu terik, sengatan matahari terasa membakar kulit ini. Keringat bercucuran, matapun tak fokus lagi memperhatikan jalan yang dilewati. Hari ini sepertinya menjadi awal musim kemarau. Beban yang berada di tas juga semakin terasa berat sekali.

Aku tidak sendirian bersekolah di SMAN 2 Bandung di lingkungan rumahku. Ada dua kakak kelas di lingkungan rumahku yang juga sekolah ditempatku. Mereka adalah Furqon dan Dika. Sayangnya, aku tak begitu akrab dengan mereka. Lagipula aku juga tidak berani untuk memulai pembicaraan, aku kan perempuan sedangkan mereka laki-laki. Rasanya tidak wajar perempuan yang memulai pembicaraan dengan orang yang kurang dikenal.

Baca juga: Mengikhlaskan Keinginan, Meyakini Ketetapan

Sesampainya dirumah, aku langsung meneguk segelas air putih untuk memuaskan dahagaku yang sedari tadi sudah kering bagai di gurun. Setelah mengganti baju seragam, kuhempaskan tubuhku ke tempat tidur. Lega rasanya, dan tak terasa akupun tertidur. Akhirnya semua rasa letih hilang. Seperti biasa, setiap sore aku belajar. Keesokannya di sekolah, aku mencoba menanyakan tentang Furqon dan Dika pada teman sekelasku Akbar. “Bar, lu kenal sama Furqon dan Dika?” Aku memulai pembicaraan. “Iya, dia temen gua juga. Dia kakak kelas yang baik. Orangnya enak diajak ngobrol. Emang kenapa? Lu suka sama mereka?”

“Gak lah. Gila kali lu, masa gua naksir sama orang yang belum gua kenal,” Jawabku dengan mimik wajah bingung. “Terus lu mau apa nanyain mereka?”

“Gua cuman pengen tau aja. Mereka tetangga gua tapi gua gak akrab aja sama mereka,”

“Oohhhh..” ujar Akbar dengan membulatkan mulutnya.

“Ih jelek banget lu kayak gitu..hahaha…” Ejekku.

Baca juga: Bahas Keunggulan Akademik, UIN SU Laksanakan FGD

“Welah orang ganteng begini. Ayo ngaku sama gua. Gua sadar kok saking gantengnya gua lu jadi susah ngungkapkan perasaan lu kegua,” Akbar dengan pede memegang kerah bajunya. “OMG mimpi apa gua semalam? Bukan saking gantengnya, tapi saking jeleknya kali…” Ujarku dengan sinis sambil manyun pada Akbar.

Jam istirahat berbunyi, aku dan sahabatku pergi ke kantin sekolah. Tiba-tiba ada Akbar dan Furqon yang menghampiriku. Aku dan sahabatku seketika berhenti. “Nai, ni Furqon. Furqon ini Naira.” Kata Akbar sambil tersenyum dengan ciri khasnya, entah senyum entah manyun. “Gua udah tau!” Seruku dan Furqon bersamaan. Sambil mengerutkan kening Akbar menjawab, “Ooohh, gua kan cuman kasih tau doang,” Akbar jadi malu sendiri. Kemudian aku beserta sahabatku kembali menuju kantin dan Furqon pun pergi begitu saja meninggalkan Akbar, Akbar pun mengejar Furqon. “Furqon tunggu gua,” Teriak Akbar. “Lelet pisan, kayak siput lu. Tapi kayaknya lebih lelet dari siput deh…hahaha,” Ejek Furqon.

Pulang sekolah seperti biasa aku, Furqon dan Dika satu angkot satu perjalanan. Aku dan Furqon saling berpandangan, tapi tiba-tiba Dika mencoba mengajak bicara Furqon. Perhatian Furqon jadi terfokus pada Dika, tapi sesekali Furqon melirik ke arahku. Aku jadi risih dan memilih membaca webtoon di hp-ku untuk menghilangkan rasa sepinya. Tapi, tiba-tiba… “Naira, temennya Akbar juga?” Furqon memulai pembicaraan padaku. “Iya, gua Naira, temen sekelasnya Akbar. Hmm, lu kenal sama Akbar dari mana?”

Baca juga: Yakin Berbahasa yang Satu?

“Dulu gua suka satu warnet sama dia. Makanya gua akrab sama dia,”

“Oh, sebelumnya sorry yah gua gak manggil lu berdua kak,”

“Iya santai aja, ya gak Dik?”

“Iya,”

Suasana pun kembali hening. Hanya terdengar suara hiruk-pikuknya kendaraan yang berlalu lalang. Aku pun melanjutkan membaca webtoonnya. Sedangkan Furqon dan Dika masih memperhatikanku. “Ada apa? Kok ngeliatin gua gitu banget? Ada yang aneh ya?” Aku memecahkan keheningan. “Gak ada apa-apa. Rumah lu yang pagar biru bukan?” sekarang Dika yang berbicara. “Hmm, iya. Kok lu tau?” tanyaku penasaran.

“Gua sering liat lu,” ucapnya.

“Oh, Dik ntar lagi nyampe tuh,” Furqon menghentikan obrolanku dan Dika. “Oh iya, bareng kan Nai?” Tanya Dika kembali membuka pembicaraan.

”Iya,”

Baca juga: LPM Dinamika UIN SU Pertahankan Penghargaan ISPRIMA 2020

Gak terasa aku sudah sampai di gang rumahku. “Gua duluan ya Furqon, Dika”. Ujarku sambil tersenyum tipis. “Oh iya…” Balas Furqon dan Dika sambil tersenyum.

Kuhempaskan tubuhku di tempat tidur, aku bingung sekaligus senang dengan perkenalan baru saja dengan Furqon dan Dika. Keduanya memang tampan, tak heran banyak cewek yang mengejar mereka. Seperti biasa aku tidur siang untuk menghilangkan rasa letihku.

Pagi yang cerah ini, aku awali dengan semangat menuju sekolah. Telihat Dika yang ingin berangkat juga. Aku pun tersenyum pada Dika begitu juga Dika. Dika mencoba membuka pembicaran, “Boleh bareng?” tanyanya.

“Boleh, sendirian aja? Furqon mana?”

“Dia selalu dianterin kalau berangkat,”

“Oohh… sekarang jadi kita deh yang bareng,”

“Kalau lu mau, kita setiap pagi berangkat bareng boleh?”

“Boleh, gak nyangka bisa akrab sama lu,”

“Santai aja sama gua dan Furqon,”

“Kakak kelas yang baik, hehehe… eh udah mau sampai nih, gak terasa ya?”

“Iya, kalau ngobrol pasti gak akan terasa,”

Baca juga: Belajar Menjadi Wartawan Investigasi

Hari ini aku hanya sendirian ke kantin. Teman-temanku sedang sibuk ngerjain tugas. Di tengah kesendirianku tiba-tiba muncul dua lelaki menghampiriku, siapa lagi kalau bukan Dika dan Furqon. “Hai Ra,… sendirian aja mana yang lainnya?” Tanya Furqon. “Ada, lagi ngerjain tugas di kelas,”

“lu gak ngerjain juga?” Tanya Dika. “Udah, tu lagi pada nyontekin tugas gua,”

“Mau ke kantin bareng?” Tanya Dika. “Yuk..” Jawabku. Sekarang kami bertiga tampak begitu akrab. Banyak hal yang sering kami lakukan bersama. Mulai dari berangkat sekolah, jam istirahat, pulang sekolah dan bahkan mereka juga sering datang kerumahku sekadar untuk bermain dan belajar.

“Gak nyangka kita bertiga jadi deket gini,” Ujar Furqon. “Iya..” Jawabku dan Dika bersamaan. Sayangnya aku telah menyimpan perasaan pada Dika, dan selama ini mereka juga meyimpan perasaan padaku. Aku mengetahui itu dari Akbar. Kami pun saling memendam perasaan satu sama lain. Entah sampai kapan kami akan tetap memendam perasaan itu.

Di suatu malam Furqon datang ke rumah Dika. Tidak seperti biasanya, ia tampak gugup saat bicara pada Dika. “Dik, lu mau bantu gua gak?”

“Bantu apa? Tumben sampe gugup gitu ngomongnya. Selagi gua masih bisa bantu, akan gua bantu. Kenapa lu gak minta bantuan Naira juga?”

Baca juga: Karena Kertas Aku Bertahan

“Nah, itu dia masalahnya. Gua… suka sama Naira. Rasa sayang gua ternyata melebihi sebatas sahabat,” Seketika itu Dika termenung mendengar perkataan Furqon. Hati kecilnya tak bisa berbohong kalau dia cemburu, dia juga memiliki perasaan yang sama seperti Furqon pada Naira. “Dik, kok lu diem sih?”

“Gua..”

“Lu kenapa? Kok lu jadi gugup juga?”

“Please, jangan marah sama gua, karena gua gak mau persahabatan kita hancur. Gua juga sayang sama Naira melebihi seorang sahabat. Tapi kalau lu mau memiliki dia, gua akan coba untuk ikhlas,”

“Tapi gua juga mau lu bahagia. Lu sahabat gua Dik. Lebih baik lu yang memiliki dia,”

“Makasih atas keikhlasan lu. Sekarang terserah Naira,”

“Iya gua setuju. Kita harus ngomong sama Naira besok,”

“Iya… kita harus terima apapun keputusan Naira nanti,” Sedangkan di rumah, aku sedang berkecamuk dengan perasaanku pada Dika. Aku berharap Dika juga memiliki perasaan yang sama sepertiku. Aku hanya perlu menunggu Dika untuk menyatakan perasaannya padaku.

Minggu pagi seperti biasanya aku, Dika, dan Furqon lari pagi bersama. Dan inilah saatnya Furqon dan Dika menyatakan perasaannya padaku. “Nai,”

Baca juga: Ani Idrus, Sang Wartawati Nasional

“Ada apa Dik?”

“Gua sama Furqon pengen ngomong sesuatu sama lu,”

“Ngomong apa?” ngomong aja lagi. Gak kayak biasanya lu berdua kelihatan gugup begini,”

“Gua sama Dika pengen ngungkapin perasaan kita berdua ke lu,”

“Maksud lu apa?”

“Gua dan Furqon menyayangi lu lebih dari sahabat. Gua dan Furqon sama-sama berharap bisa memiliki lu. Tapi itu gak mungkin cuman ada satu Naira. Jadi semuanya terserah lu Nai,”

Seketika itu aku hanya diam. Apa aku harus memilih Dika karena aku juga menyayanginya. Tapi bagaimana dengan Furqon yang selama ini sangat baik padaku. Aku pun termenung. “Nai, atau lu udah punya gebetan ya?” Tanya Dika.  “Siapa Nai? Gua sama Dika udah janji buat gak dendam,” Tanya Furqon.  Aku pun menjawab pertanyaan mereka “Kalau gua boleh jujur, gua sangat mengharapkan lu Dika,” Seketika suasana tampak hening. Furqon tampak murung, sedangkan Dika masih tampak tak percaya. Sedangkan aku hanya menundukkan kepala. “Tapi, gua gak akan memilih di antara kalian. Gua emang sayang sama Dika tapi gua juga sayang sama Furqon, walau sayang gua ke lu gak sebesar sayang gua ke Dika. Gua mau kita tetap bersahabat seperti dulu. Lupakan semua ini. Gua yakin sahabat-sahabat gua ini pasti dapat cewek yang lebih cantik dan baik. Percaya deh sama gua,”

Baca juga: Hadiri HPN, Jokowi Sebut Wartawan Adalah Karibnya Setiap Hari

“Gua juga gak mau persahabatan kita hancur karena ini. Furqon lu jangan marah sama gua ya!”

“Gua gak akan marah kali, Dika dan Naira memang sahabat sejati gua. Lagian kalau kalian jadian juga gak apa-apa. Gua rela kok,”

“Furqon, gua dan Dika hanya akan jadi sahabat. Kita akan tetap jadi sahabat. Selamanya okey,” Aku pun memeluk Furqon. “Gua juga mau dong dipeluk, hehehe,” Canda Dika. Merekapun saling berpelukan dan berteriak, “We always be best friend .. Forever,”

Editor: Ade Suryanti

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles