Dunia Itu Baik, Manusia yang Jahat /1/

- Advertisement - Pfrasa_F
(Ilustrator: Najwa Aini Salsabila )

Penulis: Kauria Rawia

Tuhan menciptakan dunia, salah satunya juga untuk kepentingan kehidupan manusia itu sendiri. Pada zaman sekarang agaknya sangat sulit membedakan mana hal yang buruk dan mana hal yang sebenarnya baik. Mengapa demikian? Karena menurut saya jika dunia tercipta tanpa adanya manusia, kemungkinan besar tidak akan ada kejahatan seperti yang kita pahami. Tanpa manusia, tidak akan ada perampokan, penipuan, pembunuhan dan segala macam kejahatan yang dilakukan oleh makhluk manusiawi. Akan tetapi mustahil jika kita menginginkan manusia lenyap dari dunia, ‘kan?

Namun, sebagian orang mengatakan bahwa dunia itu jahat, karena jika dunia tidak mempunyai sisi jahat, namanya bukan dunia melainkan surga. Sebaliknya, jika dunia tidak punya sisi baik namanya neraka. Pernyataan ini beralaskan bahwa kebutuhan tidak disediakan begitu saja oleh alam, kita harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, menggunakan apa saja yang bisa kita gunakan di sekitar kita. 

Baca Juga: Baca Ini Ketika Kamu Sedang Tidak Baik-Baik Saja

Kita bukan satu-satunya yang berusaha memenuhi kebutuhan hidup, akan tetapi manusia lain juga begitu realitasnya. Sering kali terjadi konflik antar manusia untuk memenuhi kebutuhan masing-masing, yang menang dalam persaingan akan mendapatkan banyak sumber daya. Lalu, yang kalah akan mati dalam kelaparan dan kemiskinan.

Ada satu kejadian yang baru-baru saja terjadi di depan mata saya sendiri, dan cukup membuka pandangan saya saat ini. Ketika itu sekira jam 11.00 WIB saya pulang dari kampus dengan menaiki angkutan kota (angkot) seperti biasanya. Tidak lebih dari lima orang yang berada di dalamnya, dan ketika di tengah perjalanan tampak seorang pemulung berpakaian sangat lusuh ingin menaiki angkot yang saya naiki juga. Namun, supir tidak menghiraukannya, bahkan menghindarinya. Hal yang membuat saya kaget adalah saat pemulung ini tiba-tiba melompat dan berusaha naik ketika angkot sedang melaju. Seketika itu juga supir mengerem dan menyebabkan si pemulung terbentur pintu angkutan umum.

Hal lain yang membuat saya bergidik ngeri adalah kondisi si pemulung yang cukup memprihatinkan. Luka terbuka dipenuhi darah segar mengalir jelas di lehernya, tepatnya di bagian jakun ke bawah. Awalnya saya kira ia adalah korban kecelakaan tapi ternyata tidak. Tak hanya luka menganga yang menjadi poin utama yang saya sadari, melainkan lilitan tali kusut yang melingkar di lehernya, dan salah satu dari lilitan itu adalah sebuah headset berwarna putih lusuh. Ya, sebuah headset. Saya juga bingung apa fungsi headset itu terlilit di lehernya. Akan tetapi, lilitan headset itu seakan menyumpal sesuatu, tak terlihat jelas karena sebegitu penuhnya dengan luka disertai darah. 

Pemulung itu tidak ingin duduk di dalam angkot. Mungkin ia sadar akan kondisinya dan ia hanya bergelayut di pintu. Saya duduk tepat dibelakang supir jadi, mau tak mau harus berhadapan langsung dengan si pemulung. Perasaan takut, sedih serta kasihan seketika menghampiri saya. Menyadari kondisi salah satu penumpangnya seperti itu, supir pun menyuruhnya untuk turun dengan alasan takut jika penumpang lain tidak ingin menaiki angkotnya karena melihat kondisi si pemulung. Ya, saya juga setuju, siapa yang tidak takut melihat seseorang dengan kondisi seperti itu. Namun, pemulung itu dengan kekeh tak ingin turun.

Angkot pun melaju pelan, di sepanjang perjalanan beberapa kali supir menyuruhnya untuk turun,  tetapi tak dihiraukan juga. Namun, kali ini angkot berhenti, dan dengan nada marah dan jengkel supir memaksa si pemulung untuk turun. Akan tetapi, pemulung itu tetap tak mau turun “Aku ini penumpang, loh, bang, penumpang!” jeritnya beberapa kali dengan suara yang parau sambil menyodorkan uang Rp.2000.00 ke supir. Supir pun lagi-lagi berkata dengan alasan yang sama.“Iya! Tetapi, nanti penumpang saya takut lihat, kamu!,” katanya dengan nada sedikit meninggi.

Setelah berdebat cukup sengit, angkot pun melaju lagi dengan pemulung yang masih bergelayut di pintu angkot. Ia menangis dan berteriak sambil tersengguk-sengguk seakan tak ada yang mempercayai bahwa ia memang hanya seorang penumpang, sama seperti yang lainnya. Ketika ia menangis, ekor mata saya melihat ia mengambil sesuatu dari celana jeans pendek yang kumal disertai bercak darah yang sudah mengering.

Baca Juga: Tentang Hidup, Sebuah Proses Tumbuh dan Berkembang 

Editor: Adelini Siagian 

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles