Dunia Itu Baik, Manusia yang Jahat /2/

- Advertisement - Pfrasa_F
(Ilustrator: Najwa Aini Salsabila )

Penulis: Kauria Rawia

Saya tidak tahu pasti apa yang ia ambil, setelahnya ia mengarahkan benda itu ke lehernya yang terluka dan menekannya dengan sekuat tenaga. Saya kira itu ‘obat’ untuk lukanya yang menganga, tetapi ternyata tidak. Lukanya justru semakin berdarah dan melanyah. Saya juga berpikir headset yang melingkar dan seakan menyumpal lehernya itu juga memiliki fungsi. Entah pun sebagai alternatif “alat bantu” terhadap lukanya karena keterbatasan ekonomi untuk biaya pengobatannya, mungkin?

Untuk terakhir kalinya angkot ini berhenti dan supir keluar dari angkotnya untuk menghampiri pemulung itu. Dengan wajah yang pasrah dan memelas pemulung itu turun. “Kenapa, bang? Kenapa?” tanyanya berulang kali. Supir yang sudah jengkel dan kesal memarahinya lagi. Pemulung itu kini menangis sejadi-jadinya membuat beberapa warga sekitar keluar rumah karena penasaran akan kejadian tersebut. Lalu, ia berjongkok di pinggir jalan, membentur-benturkan kepalanya pada sebuah batu besar. Kemudian berteriak, benar-benar sebuah teriakan yang terdengar sangat menyakitkan, serta melemparkan karung putih berisi rongsokan yang ia kumpulkan sebelumnya.

Langkahnya gontai sambil mengambil kembali karung yang ia lemparkan. Kemudian, ia berjalan pelan memasuki sebuah gang kecil, terduduk menangis sambil memukul dan menyakiti dirinya sendiri. Ia memekik layaknya seorang yang benar-benar putus asa dan menyesali kondisi yang ia terima.

Baca Juga: Dunia Itu Baik, Manusia yang Jahat /1/

Ada beberapa perspektif kehidupan di sini. Pertama, mari kita bayangkan rasanya menjadi seorang yang tidak diacuhkan, dan dijauhi oleh orang lain karena kondisi tubuh yang kebanyakan orang menganggapnya sangat “menjijikan”. Bagaimana jika memang benar ia hanya pemulung biasa yang berniat menaiki angkutan umum layaknya orang lain? Kita tidak tahu peliknya kehidupan yang ia jalani sampai-sampai mengakibatkan kondisinya seperti itu. Kita tidak tahu, betapa sakitnya dipandang sebelah mata hingga dijauhi oleh semua manusia. Bagaimana jika ia menyesali takdir akan kondisinya dan kejadian tadi semakin memperburuk kehidupannya?

Di lain sisi, sang supir memang benar-benar tahu perasaan kalut para penumpangnya, dan terbukti beberapa penumpang turun ketika pemulung ini naik. Ia juga tidak mau para penumpangnya yang ingin naik berubah pikiran hanya gara-gara satu penumpang ini, dan memengaruhi pendapatannya. Lagi pula, keselamatan penumpang merupakan tanggung jawabnya, ‘kan?

Sekarang mari kita lihat dari sudut pandang lain, pada zaman sekarang modus kejahatan banyak ragamnya. Orang-orang jahat di luar sana bisa dengan mudah menjebak calon korbannya dengan cara apa saja. Bagaimana jika supir itu benar-benar tahu modus kejahatan yang ingin dilakukan? Apalagi ia sudah biasa dan berpengalaman di jalanan atau bahkan sudah tahu akal bulus para penjahat.

Pada era modern seperti saat ini, meningkatnya berbagai modus kejahatan telah menciptakan atmosfer ketidakamanan di tengan masyarakat. Membuat banyak orang enggan menolong sesama, terjerumus dalam ketakutan akan menjadi korban atau terlibat dalam situasi berbahaya. Ketidakpercayaan semakin meluas menyebabkan orang-orang khawatir tindakan baik mereka dapat dimanfaatkan atau disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Ini menciptakan paradoks di mana, meskipun ada banyak orang yang ingin berbuat baik, mereka terhambat oleh rasa takut dan kewaspadaan.

Namun, terlepas dari masa lalu atau perbuatan seseorang yang mungkin salah, kita sebagai manusia punya kuasa untuk memanusiakan manusia. Setiap tindakan kebaikan yang kita lakukan adalah benang merah yang menghubungkan hati kita dengan hati orang lain. Kebaikan membawa perubahan, meskipun terkadang tak terlihat secara langsung. Semua manusia terlahir suci, faktor-faktor di kehidupannyalah yang menjadikan seseorang terkadang tak sesuai norma yang ada. Jika kamu tak menemui orang-orang baik tersebut, maka jadilah salah satu orang baik itu.

Bukankah Sang Pencipta menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya? Sejalan dengan berbuat baik, manusia menjalankan perintah-Nya untuk hidup dalam ketaatan dan memberikan kontribusi positif kepada sesama dan lingkungannya. Allah tidak pernah menciptakan sesuatu tanpa tujuan yang benar dan luhur. Oleh karena itu manusia seharusnya senantiasa menjalankan peran sebagai pengurus bumi sesuai dengan kehendak-Nya.

Baca Juga: Garizah Impase /1/

Editor: Adelini Siagian

- Advertisement -

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Share article

Latest articles